by M Rizal Fadillah
Isu terorisme hangat saat ini setelah, tanda kutip, bom bunuh diri Gereja Katedral Makassar, serangan teroris Mabes Polri, dan temuan bom buku di Melawai. Entah besok apalagi temuan atau aksi. Persoalan yang muncul atas ketidakjelasan kasus sebenarnya juga ulah pemberitaan media yang tidak obyektif apalagi investigatif melainkan ikut menghakimi dengan framing subyektif.
Benarkah itu bom bunuh diri atau ketidaktahuan barang bawaan yang kemudian diledakkan melalui remote control ? Benarkah wanita berbusana muslimah beraksi untuk membunuh para polisi di Mabes Polri atau ia wanita linglung, terhipnotis, dan terjebak permainan airsoft gun ? Benarkah pula buku teror intelijen yang ditemukan di Melawai itu diletakkan oleh teroris atau oleh intel ? Semua butuh investigasi obyektif dalam pemberitaan, investigative news.
Tulisan lama Sdr Usep Asroel tahun 2018 berjudul “Framing Media” sangat menarik untuk dibaca, ditelaah, dan diviralkan. Ia menulis tentang seorang laki laki di Amerika melihat seekor harimau menyerang wanita. Ia bergerak menolong dan membunuh harimau itu. Esoknya media memberitakan “Pahlawan Amerika menyelamatkan seorang gadis dari serangan harimau”.
Laki-laki meralat “Saya bukan orang Amerika”. Hari berikut media menulis
“Pahlawan asing menyelamatkan seorang gadis dari serangan harimau”.
Laki-laki berkata “Sebenarnya saya seorang muslim”.
Hari betikut :
Breaking News “Seorang teroris menyerang harimau tak bersalah yang sedang bermain dengan seorang wanita”.
Begitulah framing media yang bukan saja terjadi di Amerika di Indonesia pun sama. Umat Islam yang dicitrakan radikalis dan teroris. Dua kasus belakangan juga serupa. Bagaimana diedarkan seorang lelaki bersorban dan wanita berhijab berboncengan menuju Gereja dan meledakkan diri. Sebutan media adalah teroris bom bunuh diri. Dikaitkan dengan organisasi teroris JAD yang tak jelas juntrung organisasinya.
Demikian pula dengan kasus wanita yang menerobos Mabes Polri lalu mengacungkan pistol dan diembak mati. Media dengan cepat menyebut teroris menyerang Mabes Polri. Terjadi baku tembak. Hebat sekali padahal dengan melihat tayangan CCTV yang sengaja dipublikasi wanita itu seperti bingung, bolak balik tak jelas tujuan. Media pada hari berikut menulis tentang teroris lonewolf. Bahaya teroris perorangan. Seram sekali framing media.
Secara tidak langsung sebenarnya media telah ikut melakukan teror kepada publik tentang “pesan palsu” yang dikandung dari misi aksi-aksi tersebut. Media yang terkooptasi oleh kekuasaan pasti sulit bersikap independen. Menjadi corong kepentingan yang bisa jadi jauh dari obyektivitas pemberitaan.
Karikatur bagus tiga anggota keluarga ayahnya bertopi haji bebaju ghamis membawa payung dan tasbih, istrinya berpakaian muslimah membawa bungkus berisi roti-roti, sementara anaknya membawa bola dan permen. Nah dilihat dari layar kamera media si ayah payungnya menjadi senjata laras panjang, tasbih menjadi peluru. Bungkus roti istrinya menjadi bom dinamit yang melekat di tubuh. Adapun pada si anak kini bola berubah menjadi bom bersumbu siap diledakkan pemantik yang asalnya permen. Wajah ceria dibalik kamera media berubah menjadi marah.
Begitulah media mainstream membaca muslim selalu dalam wajah radikalis dan teroris. Medianya kaum penjahat. Media seperti itu tak sadar bahwa telah menjadi bagian dari terorisme.
Mungkin ada benarnya :
Modern terrorism is media terrorism.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 4 April 2021