Dr. Arief Munandar
Salah satu kesalahan umat Islam sejak dulu adalah polos, buta politik, bahkan alergi dan menarik diri dari politik. Ini adalah warisan konstruksi berpikir kolonial, di mana diset politik itu urusan orang kulit putih, bisnis itu urusan etnis Cina, sedangkan pribumi ya jadi petani, pegawai, atau buruh. Padahal kebijakan yang mengatur arah kehidupan berbangsa dan bernegara ditentukan melalui mekanisme politik.
Coba lihat betapa dahsyatnya permainan politik dan dampaknya. Dampak tersebut menjadi berkali lipat lebih luar biasa karena politik pasti berjalin-berkelindan dengan media.
Seorang Jokowi dalam waktu sangat singkat bisa naik dari Walikota Solo, jadi Gubernur DKI, lalu jadi Presiden. Hampir tidak ada yang mempersoalkan bahwa beliau tidak pernah menyelesaikan masa jabatannya sebagai Walikota dan Gubernur dengan baik. Paralel dengan itu, seorang Ahok bisa melesat dari Bupati Belitung Timur menjadi Wagub DKI, dan kemudian jadi Gubernur di Ibu Kota Negara.
Banyak umat Islam dengan polos melihat dua fenomena di atas sebagai kebetulan. Padahal orang yang belajar politik sedikit saja pasti paham, tidak ada kebetulan dalam politik. Selalu ada agenda, strategi dan skenario di balik setiap peristiwa. Selalu ada master mind di belakang itu semua. Bahkan selalu ada penyandang dana yang berkepentingan memastikan bahwa dampak peristiwa poltik tersebut memberikan benefit yang lebih besar ketimbang cost yang dikeluarkan.
Sama naifnya kalau kita menganggap bahwa kebetulan Ade Komarudin menggantikan Setya Novanto yang terjerat kasus korupsi sebagai Ketua DPR RI. Lalu Setya Novanto, yang saat berkunjung ke AS hadir di kampanye Donald Trump, malah terpilih jadi Ketum Golkar. Apa mungkin Setya Novanto bisa jadi pucuk pimpinan Partai Beringin tanpa campur tangan Ical? Ohya, jangan lupa, Donald Trump adalah kandidat Presiden AS yang terkenal sangat anti Islam. Salah satu gagasan dalam kampanyenya adalah melarang masuknya muslim ke negara Paman Sam.
Cerita tidak berhenti di situ. Tak lama setelah Setya Novanto jadi bos Golkar, partai warisan Orba ini langsung menyatakan dukungan kepada Ahok untuk kembali menjadi DKI Satu, menyusul Nasdem dan Hanura yang sudah lebih dahulu menyorongkan dukungan.
Kelanjutannya kita semua sudah mahfum. Tindakan Ahok menggusur ribuan warga marjinal di Jakarta tidak pernah disorot media. Demikian pula dugaan korupsi dalam kasus pembelian lahan RS Sumber Waras tidak ‘dikuliti’ dengan antusias oleh para jurnalis.
Sebaliknya, kasus kecil razia Satpol PP terhadap seorang pedagang di Serang yang membuka warung di siang hari bulan Ramadhan diblow-up media dengan gegap gempita, dengan angle yang menyudutkan umat Islam. Padahal Satpol PP hanya menegakkan Perda yang sudah bertahun-tahun berlaku di Serang, sebuah wilayah dengan 95% warga muslim. Kacaunya, Presiden dengan sangat patriotik menyumbang 10 juta untuk si pedagang. Bahkan para netizen menggalang dana hingga 130 juta sebagai wujud simpati.