Akhirnya tentang Indonesia dilokdon oleh 59 negara jadi olok-olok publik. Di medsos, linimasa marak oleh satire “Indonesia ditakuti dunia”. Anak negeri ini memang humoris. Keprihatinan dikemas dengan kejenakaan. Kejengkelan dibentuk dalam banyolan. Kekecewaan dilampiaskan jadi humor.
“Hebat euy, Indonesia luar biasa. Negara-negara yang dulu anggap remeh Indonesia sekarang pada takut semua.”
“Keren, akhirnya Indonesia muncul sebagai negara yang ditakuti dunia.”
“Baru di jaman Jokowi Indonesia menjadi negara yang ditakuti. Presiden yang dulu pada kemana aja.”
Itu antara lain celetukan netizen. Iya, satire. Lengkap dengan ragam meme kocak yang bikin geleng-geleng gerah, atau mengangguk-angguk nyengir hingga ngakak meriah.
Kaum buzzeRp dan para influencer habis diledek. Woooyy buzzer, influencer… jangan bisanya ngoceh radikal radikul doang. Buktikan otak kalian bukan di dengkul bukan di selangkangan. Noh pencitraan Indonesia di dunia gagal. Ayo semangat, kerja yang bener, jangan jadi piaraan abal-abal.
Tentu saja buzzer tak dapat menggonggong dunia. Mau tuding dunia disusupi radikalisme oleh anak-anak gudluking? Mau tuduh 59 negara itu sarang kadrun? Mau menstigma intoleran? Mau fitnah mereka pendukung khilafah?
Buzzer mati kutu. Selalu begitu. Di hadapan publik akal sehat buzzer memang selalu membentur dinding buntu. Influencer? Cuma bengong melompong dan tahu diri. Tak mungkin pamer kalung jimat anti corona di publik dunia. Tak dapat bermain give away juga yang hadiahnya sekedar pulsa dan sepeda.
Tentu ada saja yang gondok, keprihatinan Indonesia dikonci dunia kok jadi olok-olok. Di permukaan, sekilas mengherankan. Tapi melongok di kedalaman, barulah paham.
Ragam satire memang menjadi bentuk pelampiasan tersendiri untuk meluapkan kekecewaan pada penguasa yang tak becus menangani covid. Mendahulukan ekonomi, tapi ekonominya juga morat-marit.
Mau dengan cara apa publik yang selama ini kritis terhadap cara pemerintah menangani covid melampiaskan prihatin, jengkel, gregetan? Mem-bully negara yang melokdon tak mungkin. Ngomel pada inkonsistensi pemerintah sudah sering. Di antara kaget, heran, bingung, kesal, bahkan frustrasi, humor satire menjadi bentuk pelampiasan di “jalan buntu”.
Indonesia sedang tak baik-baik saja. Dunia mengonfirmasinya dalam bentuk larangan orang Indonesia masuk ke negara meraka. Meskipun di dalam negeri, publik terpecah. Ada yang tetap menganggap Indonesia baik-baik saja. Pencitraan yang berhasil. Boleh juga disebut sukses buzzeRp dan para influencer mencitrakan Indonesia baik-baik saja.
Tak ada yang senang dengan kondisi Indonesia yang tak baik-baik saja. Mau bagaimana lagi? Hampir semua masalah “diselesaikan” dengan mengerahkan kaum buzzeRp dan influencer. Ketidakberesan, ketidakbecusan, kekeblingeran, kebengkokan, “diluruskan” para pendengung bayaran dan jasa figur publik.
Cermin ada tapi tak berguna. Bayangan suram sekedar dilirik tanpa ada pelajaran yang dipetik. Penguasa anteng menikmati kenduri kekuasaan. Hingga kekenyangan. Aman, dijaga para peliharaan yang siap menyalak dan membungkam.
Saat asyik-masyuk mengunyah kue kekuasaan tetiba mereka keselek: 59 negara menutup pintu bagi orang Indonesia yang mau datang bertamu. Publik kontan ngeh atau lebih ngeh lagi, bahwa pandemi covid di negeri ini sudah gawat.
Negeri para buzzer akhirnya mati kutu di panggung dunia. Efek buzzer tak berbekas sama sekali. Mata dunia tak dapat dirabunkan oleh jurus-jurus sulap yang membolak-balikan mata. Realitas tak dapat dimanipulasi, tak bisa dihias dan dirias untuk mengelabui.
Salam..