by M Rizal Fadillah
Peristiwa penggerudugan ke Petamburan tempat kediaman Habib Rizieq Shihab beberapa waktu lalu dan kemarin adalah contoh pemaksaan kemaun politik dengan menggunakan aparat hukum. Secara terang-terangan tanpa rasa sungkan atau malu-malu. Model dari sebuah “an arbitrary regime” rezim yang bertindak sewenang wenang.
HRS adalah magnet massa dan massa selalu rawan konflik. Gumpalan yang membesar akan menciptakan keberanian bahkan kenekadan. Jika aksi intimidasi ke Petamburan berulang dalam rangka unjuk kekuasaan, maka dapat berkonsekuensi pada ketegangan.
HRS dan FPI bukan penjahat apalagi teroris. Kasus yang dipersoalkannya pun sederhana yaitu kerumunan dari sebuah pernikahan.
Provokasi ke lingkungan Petamburan tidak bagus untuk kenyamanan warga. Opini politik pun buruk. Andai terus menerus dilakukan, bukan mustahil akan terjadi insiden. Polri tentu ingin menunjukkan keberhasilan melalui pemaksaan, sementara FPI dan pendukung HRS bersikeras melawan. Konflik tak terhindari. Petamburan akan bersimbah darah. Haruskah ?
Banyak masyarakat melihat upaya yang dilakukan rezim sebagai ketidakadikan atau kezaliman, meski HRS pun dinilai tak lepas dari kekurangan. Karenanya harus dipertimbangkan langkah solutif untuk menyelesaikan masalah. Kebijakan “tangkap dulu, urusan belakangan” bukan opsi yang baik karena biaya politik ikutannya akan mahal.
Terhadap tindakan represif seperti “HRS harus ditahan” jelas bukan persoalan hukum tetapi politik, persoalan kekuasaan. Arogansi bersandar pada permusuhan. Terlalu dini Kapolda Metro menyimpulkan “ada unsur pidana” meskipun itu adalah hak Kepolisian untuk menyimpulkan.
Di luar masih diperdebatkan.
Di antara berbagai batasan “an arbitrary regime” tak lain “is where a people have men set over them, without their choice or allowance; who have power to govern them, and judge their causes without a rule”. Sederhananya rezim atau Pemerintahan yang sewenang-wenang. Rezim yang menjadikan hukum itu seolah tiada atau menafsirkan aturan hukum sesuai dengan kemauan sendiri.
HRS terkesan ditarget, Syahganda, Anton, Djumhur terus diproses, Gus Nur lanjut, Eggy Sujana dihidupkan kembali status tersangkanya, Ust Maheer ditangkap, entah berapa ulama dan tokoh lagi yang akan dilumpuhkan dengan “alat hukum” demi proteksi dan memperkokoh kekuasaan. Nampaknya berlaku apa yang Lord Acton nyatakan “Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely”.
Rezim jangan terlena atas sikap “tak boleh kalah” atau “kami penguasa sah, karenanya bisa berbuat apa saja”. Indonesia adalah negara hukum, negara demokrasi, negara musyawarah. Tak berguna pendekatan yang selalu memosisikan “berhadap-hadapan” Semut jika diinjak terus akan menggigit pada waktunya. Rakyat pun dapat menunjukkan kekuatan dan kedaulatannya.
Kezaliman adalah musuh sejarah yang tidak pernah langgeng. Runtuh pada akhirnya.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 4 Desember 2020