H. Munarman. SH, membacakan sendiri pledoinya dengan judul “Perkara Topi Abu Nawas: Menolak Kezaliman, Fitnah dan Rekayasa Kaum Tak Waras”.
Sebagai berikut pleidoi selengkapnya:
BAB I PENDAHULUAN
Majelis Hakim yang mulia, Penuntut Umum yang saya hormati,
Penasihat Hukum yang saya banggakan,
Alhamdulillah akhirnya persidangan ini memasuki tahap akhir. Setelah proses yang cukup melelahkan selama 3 bulan menjalani proses persidangan dan hampir satu tahun saya mengalami masa penahanan, tepatnya 11 bulan sejak saya ditangkap bulan April 2021. Sejak awal saya ditangkap, lalu ditahan hingga menjalani proses persidangan, aroma rekayasa terhadap perkara yang saya alami ini terus berlanjut. Sebagaimana yang sudah saya sampaikan dalam kesempatan Eksepsi terdahulu, bahwa perkara ini memang direkayasa untuk menutupi dan menjustifikasi extra judicial killing terhadap 6 orang pengawal HRS, yang dimulai dengan pembubaran FPI dengan alasan mendukung ISIS, lalu dicarikan peristiwa yang bisa dikonstruksi melalui fitnah bahwa seolah-olah FPI mendukung ISIS adalah benar. Mengapa saya berani mengatakan bahwa penangkapan saya terkait erat dengan upaya menutupi peristiwa extra judicial killing di KM 50 terhadap 6 orang pengawal HRS? Ya, karena saat saya di interogasi, sebuah proses di luar hukum acara, bukan proses BAP, saya sempat ditanyakan tentang TP3 dan peran saya dalam advokasi extra judicial killing peristiwa KM 50 tersebut. Dan lucunya, dokumen Laporan Pemantauan dari KOMNAS HAM tentang peristiwa KM 50 ikut disita dalam penggeledahan di rumah saya dan malah dituntut UNTUK DIMUSNAHKAN. Padahal kalau akal sehat digunakan, dan perkara ini adalah murni perkara hukum terorisme yang terjadi dalam rentang waktu 2014-2015, apa hubungan antara tuduhan dan dakwaan dalam perkara ini dengan peristiwa KM 50 yang terjadi pada Desember 2020? Dan apa hubungan dokumen KOMNAS HAM yang adalah merupakan lembaga Negara yang memang berwenang membuat Laporan, malah dijadikan barang sitaan dan dituntut UNTUK DIMUSNAHKAN ? Ayo, pikir dengan akal sehat.
Lalu ketika kasus rekayasa terhadap extra judicial killing tersebut dilakukan proses sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pembelaan dalam kasus tersebut menyebutkan bahwa FPI adalah organisasi yang terkait dengan terorisme dan pembelanya mengajukan doxa, bahwa pembunuhan di luar proses hukum terhadap kelompok yang dilabel teroris, walau tidak ada bukti hukum, adalah sebuah tindakan yang dibenarkan, dibolehkan dan sah secara moral, semata-mata karena alasan, bahwa yang dibunuh adalah teroris hanya berdasarkan labeling dan framing semata, hal ini yang dikehendaki oleh para ahli rekayasa perkara dan ahli rekayasa hukum.
Berikut ini buktinya:
https://news.detik.com/berita/d-5959072/bacakan-pleidoi-pengacara-2-polisi-salahkan- hrs-laskar-fpi-di-kasus-km-50
Darimana makhluk tersebut berani menyatakan FPI terafiliasi dengan ISIS? Apa bukti hukum pernyataan tersebut? Inilah bukti kongkrit adanya ORKESTRA KONSTRUKSI kasus yang sama persis antara apa yang saya alami dalam perkara a quo, dalam upaya membebaskan perbuatan extra judicial killing KM 50 dari jerat hukum, yaitu dengan KONSTRUKSI DASAR, bahwa bila satu kelompok difitnah terafiliasi dengan teroris, maka sah untuk dibunuh dan dibantai. Dan sebaliknya dalam fitnah dan rekayasa melalui dakwaan yang ditujukan kepada saya dalam perkara a quo, digunakan juga KONSTRUKSI DASAR tersebut untuk menjustifikasi fitnah, bahwa FPI terkait terorisme, melalui konstruksi sebagaimana yang diucapkan dalam pembelaan kasus KM 50. Dan mereka mati-matian dengan segala kekuasaan yang dimiliki, sedang berupaya keras untuk menyatakan saya agar divonis bersalah, agar fitnah yang mereka lakukan tersebut mendapat justifikasi secara hukum.
Dengan logika bar-bar yang dibangun oleh komplotan para pembunuh tersebutlah, maka rekayasa yang dilakukan terhadap kasus yang saya alami ini, mulai dari penciptaan issue FPI bagian dari jaringan teroris, lalu dibuatkan dan diciptakan kondisi seolah-olah saya dan FPI terkait dengan jaringan teroris dan aksi terorisme. Cipta kondisi yang paling dungu adalah dengan merekayasa peristiwa bingkisan dan bungkusan yang tertulis nama saya dan FPI, lalu didatangkan Gegana untuk menciptakan kesan seolah-olah bingkisan dan bungkusan tersebut adalah bahan peledak, lalu dibuatkan berita berhari-hari di berbagai media untuk menanamkan kedalam memori publik dan menciptakan jejak digital bahwa memang saya dan FPI terkait tindakan terorisme. Bagi mereka, komplotan para pembunuh 6 orang pengawal HRS dan perekayasa perkara a quo, dengan upaya merekayasa agar saya dinyatakan bersalah melalui rangkaian proses yang juga penuh rekayasa, maka extra judicial killing terhadap 6 orang pengawal HRS menjadi sah secara hukum dan TIDAK BOLEH DIPERSOALKAN. Saya hanya bisa menyerahkan sepenuhnya kepada Allah takdir yang akan saya jalani.
Laa haulaa wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil adzhimi
Lanjut bag-2