Oleh: M. Rizal Fadillah*
Dua faktor yang menimbulkan guncangan sekaligus munculnya fikiran alternatif bagi penguatan wilayah atau daerah yaitu “pemaksaan” pindah ibu kota dari Jakarta ke IKN Kalimantan Timur dan “pemaksaan” Presiden Wakil Presiden kontroversial dan nepotis Prabowo Gibran.
Potensi penguatan itu telah muncul di ruang mondial seperti pernyataan gerakan kemerdekaan Papua, Maluku dan Aceh. Kibaran bendera menjadi warna pula. Merah putih yang memudar. Hubungan kuat Indonesia China telah menimbulkan kekhawatiran akan penguasaan negara oleh kekuatan asing. Merah berkuasa, putih menyerah kalah.
Ketika IKN berpindah ke Kalimantan dengan tingkat kemandirian dan kemerdekaan yang rendah, maka daerah-daerah lain layak untuk berfikir ulang akan efektivitas sebagai negara seperti ini. Perlu evaluasi dan penataan ulang atas aturan dan sistem yang ada.
Apalagi jika ternyata kepemimpinan nasional diragukan akan keabsahan atau kapasitasnya sebagai pemimpin bangsa. Upaya-upaya untuk mengembalikkan kedaulatan rakyat berbasis daerah menjadi penting untuk didiskusikan dan dipertimbangan.
Pilihan rasional adalah desakan agar semakin banyak daerah yang mendapatkan otonomi khusus. Bukan saja Aceh atau Yogya tetapi juga Maluku, Papua atau Jawa Barat. Daerah lain pun potensial seperti Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Madura dan Kalimantan Selatan.
Pilihan kedua adalah penataan aturan Konstitusi untuk menguji kemungkinan Indonesia kembali menjadi Negara Federal. Akar kesejarahan memberi landasan bahwa keberadaan Negara Federasi pernah terjadi di bawah Konstitusi Republik Indonesia Serikat pada tahun 1949. Negara itu bernama Republik Indonesia Serikat atau United States of Indonesia.
Ada 7 negara bagian yaitu Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan dan Negara Republik Indonesia. Ditambah dengan 9 Satuan Kenegaraan.
Negara Pasundan meliputi juga Distrik Jakarta.
Ditinggalkan Jakarta tidak boleh membuatnya merana, Jakarta harus tetap menjadi Ibu kota. Sayang jika dikecilkan atau dihilangkan nilai kesejarahannya hanya demi ambisi atau membuka peluang invasi. Melalui investasi. Saat ada
Negara Federal dahulu Jakarta masuk menjadi Negara Pasundan bersama Banten dan tentu Jawa Barat.
Negara Pasundan didirikan 24 April 1948 dengan Presiden pertama dan terakhir RA Adipati Wiranatakoesoema. Versi lain dideklarasikan 4 Mei 1947 dengan pemimpin Soeria Kartalegawa. Berbendera hijau, putih, hijau dan bermotto “Gemah Ripah, Pasir Wukir, Loh Djinawi” (Kemakmuran dan kegembiraan dari lautan hingga gunung membuat semua orang sejahtera dan panjang umur).
Kini masalah yang dihadapi adalah “pemaksaan” dan “perekayasaan” baik ibu kota baru maupun pemimpin nasional yang otoritarian, oligakhis dan nepotis. Daerah tidak otonom serta sumber daya alam yang dieksploitasi sekehendak pusat, dikorupsi dan dirampok oleh kepentingan asing. Indonesia yang semakin terjajah.
Konteks kedaerahan khususnya Jawa Barat opsi otonomi khusus, negara bagian atau Jawa Barat merdeka layak untuk didiskusikan dan dimusyawarahkan secara jernih dan sehat.
Pemaksaan dan perekayasaan patut mendapat perlawanan.
Rakyat harus kuat dan berbuat untuk dapat kembali berdaulat.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 11 Mei 2024