by M Rizal Fadillah
Viral video dua orang, laki-laki dan wanita, di sebelah pohon natal sebuah gereja dalam acara “Natal Bersama Kultum 2020” membacakan ayat Qur’an dan terjemahannya. Akan tetapi ternyata ayat yang dibaca dan diterjemahkan tersebut bercampur dengan Bible dan merusak ayat Qur’an.
Diragukan bahwa pembaca Qur’an berpeci adalah muslim. Awalnya yang dibaca adalah QS Maryam 19-21 akan tetapi sambungannya seolah ayat Qur’an padahal ayat Bible Yohanes 14:6 yang diarabkan :
“Qaala lahu yasuu’u ana huwath thoriiqu wal haqqu wal hayaatu laisa ahadun ya’tii ilaal abi illa bii’
Kata Yesus kepadanya :”Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku”.
Luar biasa pengecohannya. Dengan langgam membaca Qur’an mereka mensinkretiskan Qur’an dengan Bible. Seolah-olah hai ini merupakan wujud dari toleransi keagamaan. Padahal disadari atau tidak, ini adalah penodaan agama yang dapat dilaporkan pelanggaran hukumnya. Pasal 156 a KUHP dapat dikenakan pada pelaku maupun pembuat skenarionya.
Kasus demikian bisa terjadi akibat kekacauan yang dilakukan oleh sebagian komunitas umat Islam sendiri. Toleransi salah kaprah yaitu mencampuradukan ajaran. Mulai dari ceramah natal oleh mubaligh, kolaborasi bernyanyi muslim dan kristiani di gereja, qashidah dengan joget sinterklas, adzan di gereja, bagi-bagi tumpeng santri di acara gerejani, hingga Menteri Agama yang demonstratif memberi wejangan dan ucapan Natal.
Bahkan ada film yang dinilai mengada-ada. Kader ormas yang sedang menjaga gereja mencurigai ada bom saat acara misa umat kristiani di gereja, lalu secara “heroik” ia membawa bom itu keluar dan meledaklah di tangannya. Duuar…lebaay.
Harus ada rekonstruksi makna toleransi karena saat ini telah menciptakan kekacauan pemahaman keagamaan. Toleransi seharusnya bukan saling mencampuri tetapi memahami perbedaan atas keyakinan masing-masing.
Umat Islam selalu dipojokkan sebagai umat yang intoleran sehingga merasa perlu harus merendahkan diri pada umat lain dengan sikap yang bukan saja melanggar syariat tetapi juga akidah. Pemerintah semestinya mengubah kebijakan keumatan. Kementerian Agama harus menjadi penanggungjawab untuk menstabilkan relasi keagamaan umat Islam.
Hanya semakin skeptis dan pesimis saja melihat ternyata Menteri Agama hasil reshuffle saat ini justru diduga menjadi bagian dari kekacauan faham dan relasi keagamaan ini.
Semoga ada perubahan sikap, agar wajah umat mayoritas ini tidak semakin muram.
*) Pemerhati Politik dan Keagamaan
Bandung, 27 Desember 2020