Oleh: DR Denny JA*
Pertarungan politik pada tingkat tinggi acapkali terjadi dalam “pasar gelap.” Segala permainan bisa terjadi dalam pasar gelap itu, sampai waktu membukanya ke publik.
Dalam pasar gelap, bisa saja A menggunakan jasa B untuk menyerang C. Tapi hal yang biasa pula jika C menggunakan jasa B untuk menyerang dirinya sendiri (C) dalam rangka simpati publik. Itu namanya Victim Playing.
Dalam pasar gelap, bisa saja A mendirikan B untuk menyerang C. Perkembangan kemudian B tumbuh dan berbalik menyerang A. Publik menduga B adalah musuh A sejak awal pendiriannya. Padahal B itu ikut dibesarkan oleh A.
Sebelum segala hal terang benderang, Kasus Saracen yang mengkomersialkan isu SARA, masih berada dalam wilayah pasar gelap. Polisi perlu dipuji karena mengangkat daj menemukan kasus penting itu. Namun polisi harus tuntas hingga menemukan siapa pemakai jasa Saracen agar jelas duduk perkara.
Jika tidak, kasus Saracen menjadi bensin baru yang bisa membakar kembali luka baik dalam pilkada DKI 2017 ataupun Pilpres 2014.
Cukup ketik di google search, sudah muncul pernyataan yang bertentangan. Satu pihak menyatakan Saracen digunakan oleh pihak yang menang pilkada DKI 2017. Muncul pula kesaksian, Saracen digunakan pihak yang kalah dalam pilkada DKI 2017 untuk membangkitkan simpati.
Mana yang benar? Itu investigasi polisi yang harus mengusutnya.
Saya selaku doktor ilmu politik, sedikit memberi contoh apa yang terjadi dengan pasar gelap politik untuk kasus besar lain di dunia sana, yang kini sudah dibuka oleh pemainnya sendiri.
sumber republika