Saturday, November 23, 2024
HomefotoPleidoi H. Munarman.SH, atas Tuntutan JPU(bag-3) “Menolak Kedzaliman, Fitnah dan Rekayasa Kaum...

Pleidoi H. Munarman.SH, atas Tuntutan JPU(bag-3) “Menolak Kedzaliman, Fitnah dan Rekayasa Kaum Tak waras “. Perkara Topi Abu Nawas

Majelis Hakim yang mulia, Penuntut Umum yang saya hormati,

Penasihat Hukum yang saya banggakan,

Alhamdulillah, rangkaian fitnah dan rekayasa ini akhirnya terungkap sendiri dalam persidangan a quo, yang dengan semangat 45, dalam proses pembuktian yang lalu, telah menampilkan kultwit alias rangkaian cerita halusinasi dari postingan twitter, yang kontennya memang dibuat oleh pihak-pihak perekayasa opini, designer informasi, buzzer bayaran, dengan merangkai beberapa peristiwa yang tidak berhubungan lalu dikonstruksi seolah-olah peristiwa tersebut adalah sebuah rangkaian perbuatan pidana. Postingan twitter tersebut, bila kita lihat dari kacamata content analisys, substansi konstruksinya sama persis dengan materi pembelaan kasus KM 50 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan dengan perkara a quo yang sedang saya jalani saat ini. Tanpa ilmu dan tanpa malu, postingan twitter yang memuat fitnah terhadap diri saya dan FPI ditampilkan dalam persidangan a quo, mulai dari peristiwa UIN, lalu Maklumat FPI, lalu kegiatan di Makassar, lalu acara di Medan, dan terus dihubungkan dengan peristiwa Monas 2008, lalu dirangkai dengan pernyataan beberapa teroris yang lalu dihubungkan dengan pembubaran FPI lalu terakhir saya dijadikan target sebagai personifikasi rangkaian halusinasi dan ilusi tersebut.

Tidak ada upaya investigasi ilmiah dan scientific terhadap konten fitnah twitter tersebut, seperti siapa pemilik akun, kapan diposting, dan dalam konteks apa twitter fitnah tersebut dibuat. Justru dengan kebanggaan orang yang kurang up date informasi, dan dengan nafsu untuk menunjukkan bahwa sudah berprestasi dalam karier, berhasil menjebloskan saya dalam penjara, konten twitter tersebut dipertontonkan di persidangan ini. Dan dengan KONSTRUKSI konten twitter tersebut perkara a quo dibangun dan dijadikan dasar dakwaan.

Lalu untuk mewujudkan konstruksi yang dibangun melalui postingan twitter tersebut, saya dijadikan target untuk dijadikan sebagai sasaran fitnah, sekaligus tumbal pesugihan karir. Karena saya adalah yang paling keras dalam menyuarakan pembelaan dan mengupayakan agar extra judicial killing terhadap 6 orang pengawal HRS tersebut harus dipertanggungjawabkan secara hukum, melalui mekanisme hukum Hak Asasi Manusia baik pada level nasional, maupun berlanjut pada level internasional. Setelah pada level nasional lembaga yang harusnya mengungkap sebuah peristiwa pelanggaran HAM Berat, justru malah berkomplot menutupi dan melakukan obstraction of justice.

Proses berikutnya dari rangkaian fitnah, sebagaimana yang sudah saya sampaikan dalam Eksepsi terdahulu, rangkaian fitnah melalui berbagai media massa, baik mainstream maupun medsos terus berlanjut hingga hari ini. Operasi cipta kondisi melalui berbagai saluran media maintsream maupun medsos tersebut dapat kita lihat pada hari-hari selama persidangan, berbagai media tersebut menuliskan serial berita dengan key word untuk memudahkan jejak digital negatif tersimpan di big data, yaitu “sidang kasus terorisme Munarman”. Secara sengaja diksi terorisme dilekatkan kepada nama saya dalam berbagai pemberitaan. Lalu konten dari berita-berita tersebut memuat keterangan saksi-saksi dan “ahli-ahli” yang telah dikondisikan untuk memberatkan saya dalam persidangan tanpa memuat bantahan dari saya dan tanpa melakukan verifikasi lanjutan atas pernyataan-pernyataan sepihak tersebut.

Ketika saksi-saksi dan “ahli-ahli” yang telah dikondisikan tersebut membuat pernyataan yang memberatkan walau tanpa bukti lanjutan dan tanpa verifikasi, serta tanpa metodologi dan nalar yang dapat dipertanggungjawabkan, maka media-media pencipta opini berlomba-lomba menuliskan dan memuat berita tersebut, tapi ketika keterangan tersebut saya bantah dan ketika kesempatan saya membuat bantahan, maka media- media tersebut menuliskan dengan diksi “Munarman KLAIM “. Begitu juga ketika saksi

yang meringankan dihadirkan oleh Penasihat Hukum saya, keterangan yang meringankan dari saksi tersebut ditulis sebagai klaim, oleh berbagai media. Penggunaan diksi KLAIM tersebut adalah untuk mem-framing bahwa pernyataan saya dan saksi tersebut hanya sepihak dan tidak didukung bukti. TETAPI, ketika saksi dan ahli yang memberatkan membuat pernyataan sepihak, media tersebut menuliskan tanpa diksi KLAIM, “saksi menyatakan” , “ahli menyatakan”, bahkan ada yang sengaja menuliskan judul berita dengan kalimat, “Ternyata..”, seolah sebuah kebenaran baru saja terungkap.

Sepanjang proses persidangan ini, selain saya harus membela diri dalam persidangan, saya juga harus mati-matian melalui Penasihat Hukum saya untuk meluruskan berbagai pemberitaan media yang misleading dan insinuatif. Media-media tersebut telah melakukan TRIAL BY THE PRESS dan TRIAL BY OPINION terhadap saya sebelum vonis pengadilan diputuskan. Contoh kongkrit bentuk-bentuk framing dan misleading oleh berbagai media yang mengutamakan sensasi tersebut adalah berita-berita dengan judul bombastis seperti; “Munarman Dituntut Hukuman Mati”, padahal, faktanya persidangan saat itu baru pada tahap pemeriksaan saksi, lalu berikutnya berita dengan judul “Ditemukan Kalimat Bai’at Berkali-Kali Dalam Handphone Munarman yang Disita”,

tanpa menjelaskan dalam berita tersebut bahwa kata Bai’at tersebut adalah permintaan bai’at pelantikan untuk pengurus FPI di berbagai daerah dan TIDAK ADA KAITAN DENGAN BAI’AT TERHADAP ISIS ATAU TINDAKAN TERORISME. Baru setelah

Penasihat Hukum saya mengajukan hak jawab, dimuatlah klarifikasi atas bai’at yang

dimaksud dalam HP saya tersebut.

Begitu juga saat Ahli yang dihadirkan oleh Penasihat Hukum saya, yaitu ROCKY GERUNG, panjang lebar uraian dari ROCKY GERUNG mengenai kedunguan berfikir oleh pihak-pihak yang merekayasa perkara saya, namun hanya karena ada satu diksi yang digunakan oleh ROCKY GERUNG yaitu perangai brutal saya, yang disebut oleh ROCKY GERUNG terkait peristiwa Monas yang sudah selesai secara hukum, namun media-media menuliskan diksi perangai brutal ini berulang-ulang dan tetap dalam framing target yang mereka inginkan yaitu mem-framing saya sebagai pelaku kekerasan. PADAHAL JUSTRU ROCKY GERUNG MEMBANDINGKAN DENGAN UPAYA YANG SAYA LAKUKAN DALAM MEMBAWA FPI SEBAGAI ORGANISASI KEMANUSIAAN. Inilah bentuk-bentuk

framing yang terus-menerus dilakukan oleh media-media jahat yang terus-menerus menutupi kebenaran dengan framing dan agenda setting mereka sendiri.

Praktik penerapan standar ganda dalam pemberitaan dan pembentukan opini seringkali dilakukan dengan menyalahgunakan media massa. Contoh kongkrit yang bisa saya tunjukkan adalah dalam kasus perang Rusia vs Ukraina di komparasi dengan penjajahan Israel atas Palestina. Jelas sekali media massa dan dunia global menerapkan standar ganda dalam framing berita dan issue dalam kedua hal tersebut. Berikut bukti kongkrit jurnalisme yang prejusdice dan standar ganda dalam melakukan pemberitaan, yang direkam oleh salah media yang berani melakukan otokritik.

https://international.sindonews.com/read/706195/41/standar-ganda-media-barat- ukraina-melawan-dicap-pahlawan-palestina-melawan-dicap-teroris-1646715830

Pola pemberitaan standar ganda tersebut bukan saja terjadi dalam masalah perang Rusia vs Ukraina, tapi dalam kasus yang saya alami banyak media juga menerapkan standar ganda. Dalam pemberitaan terhadap saya, sejak penangkapan hingga persidangan, berulang kali media menuliskan diksi SIDANG KASUS TERORISME MUNARMAN, TERDAKWA KASUS TERORISME MUNARMAN, selalu media menggandengkan nama saya dengan diksi TERORISME.

Namun pada sisi lain, ketika memberitakan pembantaian 8 orang pekerja tower di Kabupaten Puncak Jaya, MEDIA TIDAK SEKALIPUN MENYEBUT KATA TERORISME

dalam pemberitaannya. Padahal jelas-jelas, dalam peristiwa terorisme yang dilakukan oleh OPM tersebut, telah terjadi penggunaan kekerasan yang berakibat menimbulkan korban jiwa, mengakibatkan ketakutan dan berulang-ulang tindakan terorisme oleh OPM tersebut dilakukan. Unsur-unsur tindak pidana terorisme sebagaimana Pasal 6 dan Pasal 7 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo. Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2018 telah sangat terpenuhi dalam berbagai peristiwa di Papua. Korbannya bukan saja masyarakat sipil, namun aparat negara TNI/POLRI pun sudah banyak yang menjadi korban, namun sekali lagi, TIDAK ADA media yang menuliskan hal tersebut sebagai perbuatan terorisme.

Begitu juga terhadap kasus bom molotov terhadap pos Polisi di Bekasi, TIDAK ADA PENYEBUTAN TERORISME sedikitpun dalam pemberitaan media. Bisa kita lihat secara fakta dari kedua kasus tersebut, TIDAK ADA satupun media menyebut tindakan tersebut sebagai tindakan terorisme yang dilakukan oleh teroris lone wolf atau kelompok teroris. Tapi, ketika saya ditangkap, hingga persidangan ini berlangsung, media-media selalu menyematkan kata terorisme dalam pemberitaan mereka. PADAHAL BENTUK KEKERASAN APA? DAN SIAPA KORBAN JIWA YANG SUDAH SAYA TIMBULKAN? PERISTIWA TERORISME APA? YANG MANA? DIMANA? DAN KAPAN SAYA LAKUKAN ?

Semua labeling dan framing tersebut dalam fakta persidangan ternyata TIDAK ADA SATUPUN YANG TERBUKTI, tapi media-media SUDAH melakukan vonis melalui TRIAL BY THE PRESS terhadap saya. Bahkan bukan saja terhadap saya pribadi, urusan privasi keluarga saya pun digosipkan dan dijadikan berita sensasional oleh banyak media saat penangkapan terjadi. Bumbu gosip dan sensasi yang menyertai peristiwa penangkapan saya adalah modus khas dan selalu digunakan dalam kasus-kasus yang syarat dengan rekayasa dan kepentingan non yuridis. Tujuannya adalah untuk CHARACTER ASSASINATION sekaligus mengaburkan fakta demi mengkonstruksi kasus sesuai dengan kehendak komplotan perekayasa. Semua labeling dan framing dapat saya ilustrasikan sebagaimana gambar dibawah ini:

Saya tidak sungkan untuk menyuarakan kritik terhadap berbagai perilaku yang menyalahgunakan fungsi dari media massa yang hanya menjadi perpanjangan tangan dari kelompok penguasa (THE RULING CLASS) yang zalim, untuk mem-framing dan me-labeling kelompok lainnya sebagai penjahat, untuk menutup-nutupi kezalimannya. Karena memang media saat ini sudah banyak disalahgunakan fungsinya, bukan lagi sebagai pemberi informasi yang benar, tapi sudah menjadi IDEOLOGICAL STATE APPARATUS, meminjam istilah LOUIS ALTHUSSER, dari kelompok yang berkuasa atau THE RULING CLASS, dalam bahasa ANTONIO GRAMCI, sudah menjadi APPARATUS HEGEMONIC dari THE RULING CLASS. Sehingga kelompok atau orang yang dianggap menganggu SUPERIORITAS/SUPREMASI DARI THE RULING CLASS tersebut akan di-labeling dan di-stigma dengan berbagai predikat negatif. Sepanjang pengalaman saya berinteraksi dengan media-media mainstream, memang saya diposisikan oleh mereka sebagai tokoh antagonis yang jahat dan keji. Itulah wacana simbolik yang mereka ingin tampilkan terhadap diri saya, sehingga seolah tidak ada sisi baik dalam diri saya.

Komplotan pembunuh, tukang fitnah dan perekayasa hukum, hanya karena sedang memegang otoritas, mempunyai kekuatan simbolik untuk mengonstruksi dan mendefinisikan realitas sesuai dengan selera dan ideologinya, melalui wacana simbolik terorisme. Dan pemaknaan wacana simbolik terorisme yang di copy paste dari Amerika dan dijalankan oleh para penguasa jahat ini, didukung oleh IDEOLOGICAL STATE APPARATUS atau APPARATUS HEGEMONIC, yang dengan gagahnya membalikkan logika, tidak perlu mempertimbangkan HAM orang yang dituduh teroris, yang harus dipertimbangkan adalah HAM korban Teroris. Sebagaimana yang terjadi di Jawa Tengah baru-baru ini, ada seorang dokter yang kakinya difabel, ditembak mati, hanya karena di label sebagai Tersangka Teroris. Padahal TIDAK ADA VONIS PENGADILAN BERSALAH TERHADAP dokter tersebut. Yang pada intinya, bila seseorang disebut Teroris, sah untuk dilakukan apapun termasuk di extra judicial killing. Seolah benar argumen ini, namun APARATUS IDEOLOGI dan APARATUS HEGEMONI tersebut lupa, bahwa orang yang dijadikan tersangka tersebut, belum divonis bersalah oleh pengadilan. Mereka baru disangka dan didakwa, namun para intelektual tukang, akademisi, media dan berbagai pihak tersebut sudah menjatuhkan vonis melalui TRIAL BY OPINION.

Namun dalam kenyataan lain, yang substansi permasalahannya adalah masalah terorisme, yaitu ketika, aparat TNI/POLRI, tenaga kesehatan, guru, pekerja infrastruktur dan masyarakat sipil lainnya telah nyata-nyata dibunuh dalam jumlah yang massif oleh kelompok teroris separatis, mereka kaum yang menamakan dirinya intelektual dan berkoar-koar anti terhadap terorisme tersebut bungkam seribu bahasa. Media-media pun yang selama ini menghakimi saya melalui Trial by The Press, TIDAK ADA SATUPUN YANG MENYEBUTKAN BAHWA TINDAKAN YANG DILAKUKAN OLEH KELOMPOK SEPARATIS TERSEBUT SEBAGAI TINDAKAN TERORISME. PARA TERORIS YANG TELAH MELAKUKAN BERBAGAI PERBUATAN TERORISME TERSEBUT

HANYA DISEBUT KKB. Padahal jelas-jelas, mereka menggunakan kekerasan, korban bersifat massal, pembunuhan terjadi berulang-ulang, dan cara yang dilakukan sama kejinya dengan kelompok teroris lainnya. Namun TIDAK ADA HISTERIA, KEHEBOHAN DAN FRAMING TERORIS DAN TERORISME sebagaimana yang saya alami. Inilah bentuk-bentuk standar ganda yang diterapkan baik oleh penguasa negeri yang jahat maupun oleh media-media yang menyalahgunakan fungsi media. Ada apa denganmu..?

Mereka hanya disebut KKB, masyarakat awam juga tidak banyak yang tahu kepanjangan dari KKB. Istilah ini secara sengaja digunakan untuk menyembunyikan perbuatan terorisme yang telah dilakukan oleh OPM.

“TUGAS Pers bukanlah untuk menjilat penguasa, tapi mengkritik orang yang sedang berkuasa”. Itu ucapan terkenal tokoh pers pendiri Harian Kompas, PK OJONG (1920 – 1980). ILHAM BINTANG Wartawan Senior menyatakan “Tidak kita pungkiri satu dasawarsa terakhir pers nasional kembali mengalami ancaman malfungsi”. Dalam konteks issue terorisme saat ini, pers juga telah mengalami malfungsi dengan hanya berfungsi menyebarkan propaganda dari penguasa tanpa sedikitpun bersikap kritis dan bahkan menerapkan standar ganda.

Berikut ini saya tampilkan penerapan standar ganda dalam pemberitaan terhadap aksi terorisme yang dilakukan OPM, tapi hanya ditulis KKB saja oleh berbagai media. Tidak ada diksi kelompok teroris dan perbuatan terorisme sama sekali dalam berbagai pemberitaan tersebut.

https://daerah.sindonews.com/artikel/jatim/4088/biadab-opm-bantai-31-pekerja- pembangunan-jembatan-di-nduga-papua

https://news.detik.com/berita/d-4329484/31-pekerja-jembatan-dibunuh-usai-kkb- upacara-papua-merdeka

https://www.jpnn.com/news/kkb-bantai-31-pekerja-proyek-jembatan-nduga-dihentikan

https://www.jawapos.com/nasional/06/12/2018/pasukan-gabungan-temukan-16-jasad- korban-serangan-brutal-kkb/

https://regional.kompas.com/read/2020/09/17/20185121/kkb-bunuh-pengemudi-ojek- berselang-3-jam-habisi-prajurit-tni-di-intan-jaya

https://www.merdeka.com/peristiwa/kkb-kembali-bunuh-guru-di-distrik-beoga- papua.html

https://news.detik.com/berita/d-5535700/deretan-kebengisan-kkb-di-papua-bunuh- guru-hingga-siswa

https://news.detik.com/berita/d-5546166/kabinda-papua-gugur-ditembak-kkb-di- belakang-kepala

https://amp.kompas.com/regional/read/2021/09/17/153436878/cerita-nakes-korban- kekejaman-kkb-dilempar-ke-jurang-hingga-ditelanjangi

https://nasional.sindonews.com/read/417314/14/miris-95-nyawa-melayang-akibat-aksi- brutal-kkb-selama-3-tahun-1620090305

Cuplikan berita-berita diatas adalah bukti nyata standar ganda dalam issue terorisme yang menjadi kenyataan di Indonesia saat ini. Yang lebih sadis dalam penerapan standar ganda ini adalah ketika saya dan FPI membuat pernyataan yang mengecam perbuatan terorisme kelompok separatis OPM yang telah membunuh aparat negara TNI/POLRI, membantai tenaga kesehatan, guru dan pekerja infrastruktur serta masyarakat sipil lainnya, TIDAK ADA SATUPUN media yang memuat berita kecaman tersebut. Ajaib bukan..?

YANG LEBIH ANEH BIN AJAIB LAGI, APARAT PENEGAK HUKUM YANG BIASANYA PALING GANAS DAN SEMANGAT UNTUK MEMBANGUN OPINI, FRAMING, LABELING TERORIS TERHADAP KELOMPOK TERTENTU DAN KEPADA SAYA SERTA FPI KHUSUSNYA, JUSTRU MENYATAKAN SECARA TERBUKA, TIDAK MENGIRIMKAN DENSUS 88 UNTUK MENANGANI KELOMPOK TERORIS SEPARATIS TERSEBUT DAN MENOLAK JUGA MENYEBUT KELOMPOK SEPARATIS TERORIS TERSEBUT DENGAN SEBUTAN TERORIS. Namun

terhadap orang yang BELUM JELAS melakukan kekerasan apa, tindakan terorisme dimana dan kapan, Densus 88 SUDAH MAIN TEMBAK DAN BUNUH secara EXTRA JUDICIAL KILLING.

SELAIN ANEH BIN AJAIB, HAL INI MAKIN MEMBUKTIKAN PENERAPAN STANDAR GANDA, KETIDAKADILAN DAN KEZALIMAN YANG NYATA. MAKIN MEMPERKUAT BUKTI BAHWA PERKARA TERHADAP DIRI SAYA, ADALAH PERKARA REKAYASA UNTUK KEPENTINGAN NON YURIDIS DENGAN MENGGUNAKAN INSTRUMEN DAN PERANGKAT HUKUM YANG ADA. Berikut

bukti yang saya sampaikan dalam PENERAPAN KEBIJAKAN HUKUM STANDAR GANDA tersebut:

https://news.detik.com/berita/d-5547784/polri-belum-nyatakan-kkb-sebagai-kelompok- teroris

https://amp.kompas.com/nasional/read/2021/05/06/04000061/polri-belum-tugaskan- densus-88-untuk-tindak-kkb-di-papua

https://www.gelora.co/2021/09/kepala-densus-88-minta-setop-penggunaan.html?m=1

Lihatlah penulisan oleh salah satu media di atas, menulis kata TERORISME saja sengaja dikaburkan. Betapa standar ganda dan ketidakadilan dalam bentuk TRIAL BY OPINION dan TRIAL BY THE PRESS yang dilakukan terhadap saya sedemikian kongkrit. Dalam perkara yang sedang saya alami a quo, pembentukan opini untuk menteroriskan FPI gencar sekali, melalui berbagai pemberitaan yang sengaja di-design, bahkan juru bicara APH tersebut jelas-jelas, ketika saya dalam proses penangkapan menyatakan bahwa ditemukan bahan peledak dengan daya ledak tinggi di Sekretariat FPI dan menyatakan akan memeriksa pengurus FPI lainnya. Namun faktanya hingga persidangan ini hampir selesai, semua yang dipropagandakan di berbagai media tersebut tidak ada buktinya. Soal bahan peledak, tidak pernah dijadikan bahan pemeriksaan di persidangan. Semua hanya omong kosong untuk sekedar permainan TRIAL BY OPINION dan TRIAL BY THE PRESS semata.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments

Noersatrio Harsanto on INDONESIA AKAN DIKEPUNG RELAWAN ANIES
sukirno on BUNUH DIRI PPP