Melarang atau membatasi aksi dengan alasan terganggungya fungsi jalan raya atau arus lalu lintas adalah alasan yang mengada-ada. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa demonstrasi sedikit banyak akan mengganggu arus lalu lintas. Memperlancar arus lalu lintas, memberitahu kepada masyarakat arus alternatif ketika demonstrasi justru merupakan tugas kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 18 huruf b Peraturan Kapolri No. 9 Tahun 2008. Polisi dapat bertindak jika ada pemblokiran jalan oleh demonstran.
Selain lima permasalahan tersebut, LBH Jakarta mengapresiasi Kapolda Metro Jaya melarang provokasi yang mengarah kepada sentimen SARA. Adanya ujaran kebencian dan sentimen berbasis SARA yang berpotensi mengarah kepada serangan kepada etnis tertentu merupakan tindakan yang bertentangan dengan semangat demokrasi sehingga sudah sepatutnya kepolisian melakukan tindakan tegas terhadap hal tersebut. Surat Edaran Kapolri tentang Ujaran Kebencian (hate speech) sudah seharusnya diterapkan ketika demonstrasi, tetapi bukan melarang keseluruhan demonstrasi.
LBH Jakarta juga mengingatkan bahwa dalam demonstrasi, justru aparat keamananlah yang sering melakukan tindakan pelanggaran hukum. Contoh nyata adalah tindakan pembubaran paksa demonstrasi buruh pada tanggal 30 Oktober 2015 serta menangkap 23 aktivis buruh, 1 mahasiswa, dan dua pengabdi bantuan hukum LBH Jakarta. Selain membubarkan paksa, kepolisian melakukan pemukulan kepada seluruh aktivis, termasuk 4 buruh perempuan, dan menghancurkan mobil sound serikat buruh. Padahal demonstrasi dilakukan dengan damai.
Berdasarkan hal tersebut, LBH Jakarta mendesak Kapolda Metro Jaya untuk menarik kembali Makllumatnya No. Mak/04/XI/2016 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum dan mengawal dengan baik setiap aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat. LBH Jakarta juga menghimbau agar setiap demonstrasi dilakukan dengan damai dan tidak ada ujaran kebencian terhadap etnis tertentu.
Jakarta, 22 November 2016
Hormat Kami,
Alghiffari Aqsa, SH, Direktur LBH Jakarta