Jangankan para ulama, bahkan Rasulullah SAW sekalipun tidak memiliki hak untuk mengkafirkan orang lain. Yang berhak untuk menyatakan itu hanyalah Allah SWT. Tugas Rasulullah SAW hanyalah sekedar menyampaikan kebenaran ilahi yang diterimanya. Prinsip ini dinyatakan dengan tegas oleh Rasulullah SAW sebagaimana yang difirmankan Allah SWT: “Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (syariat Allah) dengan jelas “ (QS. Yaa-Siin, 36:17)
Rasulullah SAW tidak pernah menyatakan sesuatu yang terkait dengan risalah Islam kecuali berdasarkan wahyu dari Allah SWT, sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (risalah Islam) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) yang diajarkan kepadanya oleh (jibril) yang sangat kuat” (QS. An Najm, 53:3-5)
Rasulullah SAW dan para ulama sebagai pewaris Nabi, hanya sekadar menyampaikan yang dinyatakan Allah, dan hanya akan mengkafirkan yang dikafirkan Allah SWT. Sesungguhnya orang-orang syiahlah yang patut disebut sebagai kelompok takfiri, karena merekalah yang justru mengkafirkan para sahabat Rasul yang dipuji, dimuliakan dan bahkan sebagai dari mereka sudah dijamin Allah SWT ahli Syurga.
- LEGALISASI ZINA
Boleh jadi pintu yang satu ini berpotensi menjadi pintu yang paling efektif dalam menjebak ummat Islam yang awam, karena sejalan dengan sifat dasar manusia yang cenderung sangat mencintai syahwat (QS. Ali Imran, 3:14). Terlebih lagi, karena menurut syiah, nikah mut’ah bukan hanya boleh dalam ajaran mereka, tapi ia merupakan bagian dari masalah agama yang paling penting. Demikian dinyatakan dalam riwayat yang ditulis Fathullah al Kasyani dari Ash-Shadiq: “Mut’ah adalah bagian dari agamaku, agama nenek moyangku. Barangsiapa yang mengamalkan berarti ia mengamalkan agama kami. Barangsiapa yang mengingkarinya, berarti ia mengingkari agama kami, bahkan ia bisa dianggap beragama selain agama kami. Anak yang dilahirkan dari kawin Mut’ah lebih utama daripada anak yang dilahirkan melalui istri yang tetap. Orang yang mengingkari nikah mut’ah adalah kafir dan murtad
Al Qumi dalam kitabnya, “Man Laa Yadhurruhu Al Faqih” (Salah satu di antara empat kitab shahih syiah) menukil riwayat yang menyatakan: “Belum sempurna iman seseorang kalua dia belum melaksanakan mut’ah”
Al Majlisi mengutip satu riwayat bahwasannya Rasulullah SAW pernah bersabda: “Barangsiapa yang melakukan mut’ah satu kali, maka bebaslah duapertiga tubuhnya dari api neraka, barang siapa yang melakukan mut’ah tiga kali maka bebaslah seluruh tubuhnya dari api neraka Jahannam.
Khumaini sendiri diriwayatkan pernah mut’ah dengan anak kecil berusia empat tahun dan bahkan berfatwa: “Tidak mengapa melakukan mut’ah dengan bayi yang masih disusui dengan pelukan, himpitan paha (meletakan kemaluan di antara kedua paha bayi) dan ciuman”
Bayangkan, betapa luar biasanya pintu jebakan yang satu ini bagi ummat Islam yang awam dan atau yang masih lemah keimanannya. Jika dalam Agama Islam, zina dipandang sebagai perbuatan keji (QS. Al Israa, 17:32) dan pelakunya diancam dengan hukuman yang sangat berat, seratus atau dirajam sampai mati. Sebaliknya, dalam ajaran Syiah, Nikah (baca:Zina) mut’ah malah diyakini sebagai bagian penting dari ibadah dan sekaligus jalan yang memudahkan seseorang untuk masuk Syurga.
Karenanya logis, jika kemudian tidak sedikit kawula muda yang masih lemah imannya dan sangat dangkal pengetahuannya terhadap Islam memanfaatkan legalisasi seks bebas lewat ajaran syiah.
Majalah Tempo memberitakan nasib sejumlah wanita yang terinfeksi penyakit kelamin akibat mut’ah. Aktifitas mut’ah juga terjadi di Sragen Jawa Tengah, sejumlah santri wanita yang masih berumur belasan tahun dikawin mut’ah oleh Ustadznya yang merangkap pimpinan sekte Syiah.
Kedaulatan Rakyat memberitakan korban kawin mut’ah: “Pengurus yang mengaku imam menodai Sembilan gadis yang menjadi anggotanya yang kebanyakan masih di bawah umur”
Jika sekarang dunia dibingungkan dengan penyebaran penyakit kelamin terutama AIDS, maka pelaku kawin mut’ah termasuk donor aktif. Di Negara asalnya Iran, terdapat 250.000 anak tanpa ayah. Pada tahun 90-an, warga Iran yang terinfeksi Virus AIDS di selulur negeri sebanyak 5.000 orang”
Harusnya ummat Islam se-Awam apa pun tidak patut terperangkap dalam jebakan seperti ini, andaikata saja masing-masing mau bertanya kepada dirinya sendiri: “Mungkinkah Allah SWT menurunkan Agama yang di antara ajarannya melegalisasikan zina dalam kemasan nikah seperti ini? “